Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres telah Melampaui Kewenangan - RADAR | ANUL LAWYER

Senin, 16 Oktober 2023

Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres telah Melampaui Kewenangan

 

JAKARTA | Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengungkapkan sikapnya mengenai beberapa putusan permohonan ihwal batasan usia capres-cawapres pada Senin (16/10/2023) yang terkesan aneh. Saldi mengaku dirinya bingung karena putusan MK dinilai berubah-ubah dalam waktu dekat.


Kebingungan yang dimaksud oleh Saldi adalah mulanya putusan MK menolak permohonan PSI yang meminta batasan usia capres-cawapres turun dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Namun, setelah putusan itu, MK memutuskan menerima sebagian atas permohonan Almas Tsaqibbiru Re A, mahasiswa UNS yang mengajukan minimal usia capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.


"Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ungkap Saldi. 


Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil juga telah membicanngkan hal tersebut dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan. engamat politik Ray Rangkuti menilai keputusan MK soal batas usia capres dan cawapres tersebut harus menjadi wewenang DPR bukan Mahkamah Konsitusi. 


"Seharusnya soal batas usia capres dan cawapres itu bukan urusun MK, harusnya DPR yang berwenang," jelas Ray Rangkuti saat diskusi Publik yang bertemakan MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Keluarga di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu 15 Oktober 2023. 


Titi Anggraini selaku pengamat pemilu juga menambahkan, bahwa keputusan soal batas usia Capres dan Cawapres seharusnya diberlakukan pada pemilu selanjutnya.


"Soal batas usia Capres Cawapres seharusnya diberlakukan pada pemilu mendatang, bukan pada pemilu 2024 tahun depan. Hal tersebut menjadi kecurigaan, publik akan menilai sifat kenegarawanan sang hakim MK dalam mengambil kebijakan," jelas Titi Anggaraini.


Titi menegaskan Undang-Undang Pemilu yang digugat telah diuji sebanyak 120 kali. Seharusnya, mekanisme dan prosesnya telah berjalan secara presisi tanpa perlu ada yang diubah.


"Apa yang terjadi hari ini kita menghadapi yudisilaisi politik dalam menghadapi pemilu, yang akhirnya berdampak pada ketidakpastian regulasi menghadapi pemilu itu sendiri,"

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda