Jakarta | Dalam webinar Moya Institute bertema “Konflik Palestina-Israel : Peluang Penyelesaian", Mantan Dubes RI untuk Ukraina Yuddy Chrisnandi mengungkap bahwa aksi nyata Indonesia dalam menyelesaikan perang Israel dan Palestina sedang ditunggu dunia.
“Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia, dalam menyuarakan kepentingan umat Islam," kata Yuddy.
Bila seluruh umat Islam di negara-negara Arab dikumpulkan menjadi satu, lanjut Yuddy, tetap belum bisa menyamai jumlah umat Islam di Indonesia. Portofolio itulah yang membuat peran Indonesia dinantikan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, dibandingkan negara-negara Arab yang tidak jelas sikapnya.
Narasumber lain dalam webinar tersebut, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Prof. Dr. Hikmahanto Juwana mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah memenuhi syarat sebagai penjahat perang atas tindakannya menyerang Gaza, Palestina.
Tetapi yang menjadi persoalan adalah Israel bukan negara anggota terhadap Statuta Roma (1998), yang memungkinkan dia diadili oleh International Criminal Court (ICC).
Menurutnya, bisa juga melalui mekanisme lain, yakni resolusi Dewan Keamanan (DK-PBB). DK-PBB sebenarnya bisa mengeluarkan resolusi yang memandatkan ICC untuk mengadili para pemimpin Israel.
"Tapi, nantinya pasti AS akan memveto hal itu di DK-PBB, jadi badan dunia itu sudah seperti 'macan ompong' sebetulnya," tuturnya.
Hery Sucipto, Direktur Eksekutif Moya Institute turut mengutarakan keprihatinan dan kemarahan mendalam melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza.
Apalagi, lebih dari 50 persen korban serangan Israel adalah bayi dan anak-anak. Dan ini merupakan jumlah korban terbesar sejak Intifadah tahun 2000.
"Karena itu, Moya Institute berinisiatif menggelar webinar ini untuk menganalisis perkembangan yang terjadi, membaca kemungkinan potensi penyelesaian, termasuk mengkaji kemungkinan langkah-langkah yang bisa diambil Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam upaya menciptakan perdamaian antara Palestina-Israel," ujarnya.
Pada momen tersebut, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti juga menuturkan konflik Israel-Palestina dari beberapa dimensi.
Dimensi pertama adalah dimensi teologi. Abdul Mu'ti menyatakan konflik ini disebabkan oleh klaim teologis kaum zionis yang memandang tanah Palestina itu sebagai tanah nenek moyangnya.
Namun, lanjut Mu'ti, dimensi kedua yakni politik juga kental dalam perang Israel-Palestina. Karena itu, Muhammadiyah menilai solusi politik lebih cocok untuk menyelesaikan perang tersebut.
"Dan two-state solution atau solusi dua negara adalah solusi yang paling logis bagi penyelesaian konflik kedua bangsa, karena memang menurut bangsa Israel juga punya hak tinggal di wilayah itu, hanya saja selama ini mereka melakukan okupasi terhadap tanah Palestina, yang dinilai sebagai penjajahan," jelas Mu'ti.
Disisi lain, Prof Imron Cotan selaku Pemerhati Isu-isu Strategis dan Global berpendapat ada perbedaan mendasar antara orang Yahudi dengan gerakan zionisme. Orang Yahudi itu secara umum baik, karena ada persamaan kaidah keagamaan dengan Islam.
Sedangkan zionisme, adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi di tanah Palestina, menolak berdirinya negara Palestina. Dan sekarang kaum zionis ini berkuasa di pemerintahan Israel melalui kelompok ekstrem kanan pimpinan Benjamin Netanyahu.
"Karena itu tak heran bila beberapa waktu lalu salah satu Menteri Israel, Amihay Eliyahu menyatakan bahwa sebaiknya bom nuklir dijatuhkan di Gaza. Padahal korban di pihak Palestina sudah mencapai 12.000, separuh diantaranya bayi dan anak-anak,” ujarnya.
(*)